Mungkin lebih pasnya
disukai, seorang guru dimata semua siswa/i bak sosok yang tidak hanya sebagai
pengayom di kelas, juga diam-diam sebagai pemberi kejutan.
Belum seminggu yang lalu saya meninggalkan
kewajiban mengajar, awal bulan ini selama seminggu saya kembali meninggalkan
kewajiban mengajar. Dengan begitu sempurnalah saya menjadi guru yang disukai
oleh siswa/i. Kelas riang, sedangkan guru piket repot mengatur sirkulasi
pergantian jam, karena guru yang absen mengajar.
Saya rasa ini bukanlah cara yang baik
untuk menyenangkan peserta didik. Tapi bagaimana pun juga kompetensi guru
meningkat tidak hanya ketika mengajar, saat sang guru mengasingkan diri dari
rutinitas mengajar itulah taraf kemuktahiran sang guru diperoleh. Teman-teman
tahu apa sebabnya?
Dulu, mungkin kita belum menyadari
kegembiraan yang sesungguhnya adalah ketika lulus masuk peringkat yang sulit
diperhitungkan nalar, logika, kausalitas, dan kalau mau disebut karena sedang
hoki. Namun kegembiraan kita semasa sekolah begitu sederhana, murah dan sangat
terjangkau akal sehat. Yaitu ketika bapak ibu guru sedang rapat, jam kosong
atau jam olah-raga.
Tentulah sebijak-bijaknya kita yang
pernah mengalami menjadi anak paling
kalem, diagung-agungkan kecerdasannya, dielu-elukan kefavoritannya,
ngaku gak ngaku mana mungkin sih melewatkan masa kebebasan selama satu sampai
dua jam kosong. Emang kalian masih bersikukuh mengerjakan latihan yang guru
bidang study aja belum menerangkan? Kecuali lagi mengalami puber pertama.
Pura-pura rajin sambil melirik-lirik gebetan, eh si gebetan malah happy fun entah ke mana.
Guru yang paling pengertian
Konon melalui tangan seorang guru
yang hebat kelak melahirkan anak-anak yang hebat. Siapa contohnya? Ir. Soekarno,
Ir. Jokowi. Ada yang tahu siapakah guru terhebat bapak-bapak presiden kita?
Coba googling sebentar. Ketemu kan? Lalu, BJ Habibie, pemilik hak intelektual
terpopuler di abad ini. Mau tahu siapa guru beliau? Cobalah googling lagi.
Bukankah di era yang serba canggih ketidaktahuan kita akan segera terjawab
hanya bermodalkan mesin pencarian. Ada tapinya, gak semua yang termuat itu
adalah jawaban yang sesungguhnya.
Dulu lagi, saya mengidolakan guru
yang paling pengertian. Guru yang saat beliau mengajar beliau tak lupa menyapu
semua pandangannya ke semua peserta didik. Ketika ekor matanya menangkap anak
yang sedang menjatuhkan kepalanya di atas meja, lantas ia bertanya, “Andi, kamu
kenapa?
Apa kamu sedang sakit?”
Dengan sedikit kekuatan otot
kepalanya ia menjawab, “Iya pak, tadi belum sarapan.” “Ya sudah sana kamu
sarapan dulu.” Pergilah Andi ke kantin dengan sedikit membawa harapan sembuh
dan kenyang.
Ternyata hal ini disadari oleh Budi,
teman sebangku Andi. Eh salah ding. Teman semeja. Karena setiap anak dianugerahi
potensi yang berbeda, Budi berbakat menjadi seorang opportunis. Ia sanggup
melihat cela dan memodifikasinya menjadi sebuah peluang kenikmatan. Di hari
yang berbeda, Budi berperan sebagai anak yang seolah-olah sakit. Karena bakat
“nakal” dibiarkan tumbuh oleh dirinya, ia lakukan yang serupa Andi. “Bud,
kenapa dengan dirimu?” Ia tak menjawab. Teman-teman sekelas sibuk mengerjakan
soal ulangan. “Bud, kamu sedang sakit?”
Lagi-lagi ia hanya bisa menirukan Andi. Tanpa diduga pak guru yang masa sekolahnya
melebihi usia anak-anak didiknya, menjawil kepala Budi. “Halah gaya lama.
Ndesa.” “Sana cuci muka!”
Selain pengertian yang ditunjukkan
dalam sikap sempurna, guru yang saya jadikan idola adalah guru yang sedikit
memberikan tugas, sedikit memberikan ulangan. Pokoke sitik-sitik wae asal
klakon.
Tidak itu saja, pernah guru yang saya
anggap hampir terkategorisasi guru dengan pengajaran terunik memberikan soal
ujian dalam bentuk esai. Begini soalnya: bagaimana sikap kalian terhadap teman
yang bersikap sombong? Coba kira-kira teman-teman akan menjawab apa? Pasti
dengan bijak bestarinya kita jawab: diberikan nasehat bahwa sombong itu tidak
baik, atau sombong adalah perilaku dosa, atau kutipan dalil.
Eh ternyata satu kelas tidak ada yang
benar. Teman-teman tahu kan bahwa prilaku munafik itu sangat tidak disenangi.
Guru saya yang mulia itu menganggap semua jawaban peserta didik adalah wujud
kemunafikan. Mana ada coba orang yang respek kepada orang yang sombong, angkuh,
besar kepala, congkak, cangkok – eh keterusan.
Jawaban beliau amat sangat sederhana
dan diluar ajaran sekolah yang mesti berfikir positif, tak lain tak bukan
adalah dengan cara dijorokin ke selokan, disiram air, dan apa saja yang
bermuatan tindakan penyadaran menurut versi beliau. Itu sangat out of the box. Amat disayangkan kala
itu istilah seperti itu belum populer. Apalagi anti mainstream.
Sejak itu saya berfikir bahwa cara
mengajar tidak seperti cara orang buang air (monoton). Perlu dinamis. Perlu
memahami dinamika kelas. Dan sangat perlu memahami konstelasi di tempat
mengajar. Terlebih ini hal yang paling sensitif: emang mengajar di sana per jamnya berapa? Kalau
udah begini urusannya tahu sama-tahu, maklum sama maklum.
Teman-teman tahu apa yang saya
lakukan ketika sekarang saya berposisi sebagai guru? Oh tidak donk. Masa saya
niru gaya guru saya yang mulia itu. Dari sekian banyak guru, saya mengamati
pola-pola penyampaian yang menarik dan tentunya dinamis. Teman-teman paham kan
kalau hidup zaman digital tapi tidak ramah dengan lingkungan digital artinya ia
ketinggalan zaman.
So, saya berikan tugas versi
elektronik. Materi tugas saya share di
blog (secara pernah jadi blogger) dan berikan kebebasan mereka berdiskusi.
Kunci dari saya: carilah teman-teman yang sanggup memberikan umpan balik. Bayangkan
jika kalian ngobrol dengan orang yang gak nyambung pisan. Bayangkan lagi jika
itu adalah pacar kalian. Sampai berapa lama kalian akan bertahan? Selama sesi
amanah saya memandangi baris per baris generasi penerus bangsa. Terasa seperti
hendak menangis. Tapi bola-bola mata saya tak kunjung gerimis.
Guru yang membolehkan open booksaat
ulangan harian
Emang dasar anak-anak, sekalinya
diberikan open book senangnya bukan main. Okelah kalau itu yang mereka
inginkan. Tapi tunggu dulu, prinsip saya tentang guru hebat adalah ia yang
tidak membiarkan murid-muridnya terjatuh ke lubang ketidakpahaman,
ketidaksungguhan. Saya tidak sepakat dengan istilah si dia mah bodoh atau si
dia mah pintar. Yang ada bagi saya adalah mereka yang paham dan
bersungguh-sungguh.
Jadilah saya memberikan lima soal
ulangan harian esai openbook. Saat
itu saya tidak sedang di sekolah. Masih dalam melaksanakan tugas di luar
sekolah. Meski tidak perlu saya awasi, saya yakin anak-anak tertib dalam tempo
yang sewajarnya.
Entah apa yang mereka alami selama
mengerjakan soal ulangan itu. Mungkin menggerutu. Mungkin kesal. Awas aja jika
ada yang mengumpat saya dengan perkataan: Ini soal keparat yang dibuat oleh
guru yang sangat keparat. Sampai hari ini saya adalah bagian dari hati mereka.
Benar saja dugaan saya. Pertanyaan
hapalan adalah jawaban termudah yang mereka sanggup hapal walau
berlembar-lembar, namun menganalisa, mencermati adalah kesukaran yang tidak
pernah mereka latih melewatinya. Inilah sebabnya mutu pendidikan kita belum melampaui
angka signifikan mencapai angka sepuluh besar pendidikan di dunia.
Guru yang jarang masuk kelas
Sebabnya guru jarang masuk kelas
menurut pengalaman di dunia nyata paling-paling karena tidak adanya aturan
wajib guru menerangkan materi. “Anak-anak kerjakan soal hal sekian sampai
sekian. Bapak/ibu keluar sebentar ya.” Waktu berjalan cepat. Teettt. Bel ganti
pelajaran. Terulang hingga kesekian kali sehingga lama-lama murid-murid tidak
mengenali wajah dan nama guru mereka. Ini bukan karena sang guru tidak
menguasai materi. Hanya karena sang guru sedang tidak ingin mengajar dalam
tempo yang tidak sangat wajar.
Sebagai guru yang cukup banyak yang
mengenal saya meski saya tak mengenal mereka, saya termasuk guru yang sedikit
sekali tidak masuk kelas. Bagaimana tidak, wong saya fingering untuk absen
melewati pukul 06.45 sudah dianggap telat. Padahal jam masuk pukul 07.00. Di
saat itulah level saya dan semua guru sama seperti perjalanan kereta api. Tak
ada semenit pun untuk telat. Di penghujung tahun ajaran kemarin hanya pemegang
skor tertinggi telat absen sebanyak 35 kali. Bukan telat masuk ya - sori gak
level donk.
Untuk keperluan tugas belajar kali
ini saya ditugasi oleh sekolah selama lima hari, satu hari sebelum hari
kegiatan saya sudah berada di sekitar lokasi, dan hari terakhir setelah
kegiatan saya menambah satu malam lagi. Bukan tanpa alasan tujuh hari berada di
kota pelajar. Saya ingin selalu menjadi pelajar di mana pun saya berada.
Bagi saya menjadi guru yang dicintai
mulanya adalah disukai oleh murid-murid. Saya lama sekali menjadi murid. Bahkan
hingga sekarang saya masihlah seorang murid. Murid yang baik tahu sekali maksud
setiap apa pun yang diajarkan oleh sang guru. Begitu pun guru yang baik pastilah
menaruh cinta dan kebijaksanaan pada setiap yang beliau berikan.
Yogya, 03 September 2017
Bagus Styoko Purwo
Mengajar dan belajar di banyak tempat, tinggal di Desa Babelan Kota, Kab.
Bekasi.